Oleh: Pribadi Wicaksono (Kontributor Tempo)
TEMPO.CO, Jakarta – Desa Panggungharjo Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta kembali membuat gebrakan setelah sukses melahirkan destinasi keluarga bernama Kampoeng Mataraman yang populer. Desa wisata yang berlokasi di Kecamatan Sewon, perbatasan dengan sisi selatan Kota Yogyakarta itu awal pekan ini menggarap layanan pengelolaan dan pengangkutan sampah secara digital melalui platorfm aplikasi Pasti Angkut.
Pengelolaan sampah secara digital itu diluncurkan seiring berulangnya persoalan sampah di Yogyakarta pada belakangan ini yang tak hanya berpotensi mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan, namun juga berpotensi mencoreng sektor wisata wilayah itu.
“Layanan pengelolaan sampah melalui aplikasi ini sasarannya perubahan perilaku pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga yang selama ini jarang atau bahkan tidak pernah diintervensi pemerintah,” kata Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi, Senin, 19 September 2022.
Dari layanan sampah secara digital ini, kata Wahyudi, masyarakat, termasuk wisatawan yang sedang berkunjung ke Yogyakarta bisa bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkannya. “Pengelolaan sampah di tingkat hulu atau rumah tangga selama ini dibiarkan sehingga berdampak makin besarnya anggaran dari pemerintah hanya untuk berfokus memindah sampah itu dari penampungan ke tempat pembuangan,” ujarnya.
Lewat aplikasi ini, Pemerintah Desa Panggungharjo yang sudah memiliki sentra pengolahan sampah mandiri itu menawarkan pengangkutan sampah rumah tangga dengan ongkos proporsional secara praktis. “Masyarakat atau wisatawan yang sedang berlibur cukup lama, tinggal unduh layanan aplikasi itu, lalu memasukkan data diri kemudian tinggal order pengakutan dan pengolahan sampah rumah tangga sesuai kebutuhannya,” kata dia.
Adapun untuk tarif pengangkutan sampah ini, kata Wahyudi, sangat fleksibel tergantung beratan sampah yang dibuang. Untuk satu kilogram sampah yang akan diangkut dihargai Rp 1.000.
“Kategori yang dihitung sebagai sampah adalah bahan-bahan yang sudah tidak bisa diolah, jadi ketika masyarakat bisa memilah sampah sesuai jenisnya, biayanya akan sangat hemat,” kata Wahyudi.
Ia mencontohkan selama ini rumah tangga seringkali mencampuradukkan sampahnya, baik itu kertas-karton, plastik sampai sampah organik. Padahal sampah kertas dan plastik masih bisa didaur ulang.
Berbeda dengan sampah residu seperti bekas pembalut yang tak bisa didaur ulang. “Seharusnya sampah itu bisa dipiliah dalam tiga kategori yakni basah, daur ulang dan residu,” kata Wahyudi.
Jika skema pemilahan ini dijalankan, menurut Wahyudi, maka pengambilan sampah basah tidak akan dipungut biaya, sedangkan jenis sampah daur ulang justru akan dibeli. “Hanya sampah residu seperti pampers, pembalut, kain yang dibayar jasanya oleh masyarakat,” ujarnya.
Wahyudi menuturkan jika dikalkulasi, konsep layanan sampah digital desa itu jauh lebih murah dibandingkan dengan pembayaran sampah konvensional secara bulanan di Yogyakarta yang umumnya berkisar Rp 25-50 ribuan per rumah tangga. Dengan rata-rata residu satu keluarga sebesar 10-12 persen dari 2,5 kilogram sampah harian yang dihasilkan, setelah dipilah masyarakat bisa hanya membayar jasa angkut sampah yang tidak sampai Rp 10.000 per bulan.
Wahyudi menyebut penetapan tarif proporsional dalam skema disintensifikasi pengambilan sampah berkaca pada pengalaman pengelola Kelompok Usaha Pengelola Sampah (KUPAS) Desa Panggungharjo.
Sejak kehadiran KUPAS pada 2012, desa itu mencoba memberi insentif pada keluarga yang memilah sampahnya namun hanya 18 persen dari penduduk yang aktif bergabung. “Skema ini pada 2019 kami ubah dengan tabungan emas dan akhirnya bisa mendapatkan 100 persen yang bersedia memilah,” kata Wahyudi.
Adapun Salva Yurivan Saragih, Direktur Kelola Sampah Kita, mitra Desa Panggungharjo yang mengembangkan aplikasi pengangkutan sampah Pasti Angkut mengatakan di desa itu memiliki 1.500 pelanggan yang berpotensi menerapkan pemilahan sampah sendiri. “Jadi aplikasi ini yang membantu melayani pengelolaan sampah dari hulu sampai hilir, baik dalam pengambilan, manajemen dan pengelolaan sampah sehingga terbentuk ekosistem daur ulang,” kata dia.
Lewat aplikasi ini, Salva mengatakan setiap warga mendapatkan kepastian penjemputan sampahnya karena pembayaran dihitung berdasarkan pemilahan sampah yang dihasilkan. Dengan kepastian seperti itu, masyarakat diedukasi tidak lagi tergantung pada tempat pembuangan besar seperti tempat pembuangan sampah akhir terpadu (TPST) Piyungan yang belakangan sering ditutup aksesnya hingga menyebabkan penumpukan sampah di Yogyakarta. “Sebab dengan sistem digitalisasi seperti ini, sampah diolah langsung di desa, dan masyarakat diedukasi memilah agar biayanya dapat ditekan,” kata dia.
Artikel ini tayang di tempo.co, 20 September 2022