Sejak masa kanak-kanak, para orang tua khususnya di Jawa, selalu menyarankan anaknya jika makan harus wajib dihabiskan. Jika tidak habis, maka hewan ternaknya akan mati.
Memang sedikit ambigu atau malah terdengar mengerikan. Namun, orang tua yang menyarankan kepada anaknya untuk selalu menghabiskan makanan itu sudah benar.
Disadari secara langsung atau tidak langsung, ternyata perilaku menghabiskan makanan adalah bentuk turut serta dalam menjaga lingkungan.
Kok bisa?
Dewasa ini, salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia berasal dari sisa makanan yang terbuang. Setelah mengalami pembuangan, maka sisa makanan tersebut akan menjadi sampah atau limbah.
Istilah populernya biasa disebut food waste. Istilah tersebut merujuk pada bahan makanan yang sudah diolah menjadi makanan siap saji dan mengalami pembuangan akibat terlalu banyak produksi.
Food waste bisa terjadi karena banyak faktor. Seperti hanya alur distribusi bahan makanan, ketersediaan kulkas atau lemari pendingin, dan pembelian jumlah bahan makanan yang terlalu banyak.
Selain itu, pola perilaku konsumsi manusia pun juga menjadi sebab mengapa banyak sisa makanan yang terbuang. Jika produksi terlalu banyak dan jumlah yang dikonsumsi tidak setara dengan yang diproduksi, maka kelebihan makanan pun akan terjadi.
Banyak dari kita masih belum menyadari bahwa sisa makanan yang terbuang telah menjadi salah satu faktor penyumbang terbesar gas rumah kaca.
Dilansir dari kompas.id, dalam artikel berjudul ”Food Loss” dan ”Food Waste”, Mengapa Kita Harus Peduli, menjelaskan bahwa limbah yang dihasilkan dari food waste ini setara dengan limbah air. Pada tingkat dunia, tahun 2013 jumlah food waste sudah setara dengan 250 kilometer persegi, 1,4 miliar hektar tanah, dan menghasilkan 3,3 miliar ton gas rumah kaca.
Masih merujuk pada sumber yang sama, bahwa permasalahan lain dari penampungan food waste adalah pemrosesan akhir sampah (TPA). Di Indonesia sendiri masih memiliki sekitar 500 TPA yang hampir semua menggunakan sistem open dumping, yakni sampah dibuang begitu saja tanpa melalui pemrosesan.
Kondisi pengelolaan sampah dari sisa makanan tersebut yang hanya ditampung di TPA tanpa ada pemrosesan lebih lanjut akan mengalami kondisi anaerobik. Kondisi anaerobik sendiri adalah kondisi di mana suatu lingkungan tanpa adanya oksigen.
Adanya permasalahan pada TPA di Indonesia tersebut tentu menjadi faktor lain mengapa pemrosesan sampah belum bisa dilakukan sampai purna.
Lalu, langkah apa yang harus kita lakukan?
Pertama tentu pencegahan. Dalam tahap ini kita dituntut untuk belajar membiasakan diri dalam berperilaku menjaga makanan. Menjaga bisa berarti merawat dan tidak berperilaku boros.
Selain itu, tindakan pencegahan ini bisa dimulai dari diri sendiri. Mengambil porsi makan tidak terlalu berlebihan adalah contoh sederhananya. Ketika dirasa kurang, maka mengambil lagi tentu tidak apa-apa, dan lebih baik begitu. Sehingga makanan pun tidak ada yang terbuang sia-sia.
Kemudian langkah kedua adalah penanganan. Jika dalam rumah tangga kita masih ada sisa makanan yang akan terbuang, maka jangan dibuang sembarangan.
Sisa makanan lebih baik ditaruh di wadah tersendiri. Jangan dicampur dengan sampah jenis lain. Selain akan memudahkan dalam pembuangan sampah, proses pemilahan tersebut membuat para transpoter lebih mudah dalam melakukan penjemputan sampah.
Jadi, sebaiknya sisa makanan kita diapakan?
Jika kita punya hewan ternak di rumah, bisa sekali diberikan sebagai makanan. Seperti hanya ayam, lele, atau ternak maggot. Pilihan lain adalah digunakan sebagai pupuk untuk tanaman.
Dua langkah di atas adalah alternatif sekaligus siasat bagaimana sisa makanan tidak dibuang sembarangan. Sisa makanan pun tidak terbuang sia-sia.
Dari penjelasan singkat di atas, bahwa mengelola makanan dengan baik dan efisien, kita secara langsung turut serta dalam merawat bumi.
Salam lestari.
_________
*Pasti Angkut/Nardi