Pradito Rida Pertana – detikJateng
Bantul – Pemerintah Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, melakukan pengolahan sampah agar tidak bergantung kepada TPA Piyungan. Hasilnya, saat ini mereka mampu meraup puluhan juta rupiah setiap bulan dan mampu mengedukasi masyarakat melalui aplikasi.
Lurah Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi, menjelaskan munculnya ide pengolahan sampah ini karena menggunungnya sampah akibat TPA Piyungan tutup. Dari situ, pihaknya mulai membuat Kelompok Usaha Pengelola Sampah (Kupas) Kalurahan Panggungharjo pada tahun 2013.
“Memang perjalanan Kupas sudah sejak tahun 2013, dan lima tahun pertama kita menerapkan skema memfasilitasi. Jadi setiap tahun sudah kita anggarkan sekitar Rp 100 juta dari APBDes untuk mendorong perubahan perilaku dengan cara memfasilitasi pendirian bank sampah,” kata Wahyudi saat ditemui di tempat pengelolaan sampah Pangguharjo, Sewon, Bantul, Senin (19/9/2022).
Hal itu, kata Wahyudi, untuk membantu masyarakat khususnya keluarga di Panggungharjo dalam melakukan penanganan sampah secara bertanggungjawab. Namun hasilnya saat itu ternyata belum maksimal.
“Lima tahun kita investasikan lumayan besar, ada regulasi yang memberi pedoman bagaimana mengelola sampah yang bertanggungjawab ternyata hanya 18 persen warga desa yang mau melakukan pemilahan sampah,” ucapnya.
Tidak langsung berhenti, Wahyudi bersama rekan-rekannya di Kupas mencoba untuk memberikan skema insentif pada tahun 2019. Skema tersebut memberikan dorongan dengan mengintegrasikan layanan sampah dengan tabungan emas.
“Harapannya adalah keluarga-keluarga yang sudah memilah itu tidak hanya kemudian memperoleh manfaat berupa berapa rupiah tapi kemudian berapa miligram emas,” ujarnya.
“Nah, skema insentif ini relatif bekerja. Hingga kemudian tahun 2019 ada sekitar 100 keluarga yang tidak mau memilah sampah mau memilah sampah,” lanjut Wahyudi.
Menurutnya, hingga hari ini ada sekitar 1.600 nasabah tabungan sampah yang terintegrasi dengan tabungan emas. Sedangkan total emas yang sudah terkumpul mencapai lebih dari 2,5 ons.
Hal itu membuat Wahyudi melakukan skema disinsentif pada tahun 2020. Tujuannya, yaitu agar masyarakat benar-benar mau memilah sampah.
“Tahun 2020 kita berencana melakukan skema disinsentif. Yang mau memilah sampah mendapat tabungan emas dan yang tidak mau memilah sampah retribusinya dijadikan dua kali lipat. Itu untuk memaksa lebih banyak lagi keluarga yang mau memilah sampah,” ucapnya.
Namun hal tersebut menemui jalan buntu akibat hantaman pandemi COVID-19. Hingga akhirnya pada tahun 2021 Kupas baru berani menata ulang sistem pengelolaan sampah berbasis digitalisasi.
“Tapi karena pandemi COVID-19 pada akhirnya skema disinsentif kita tunda dan baru tahun 2021 kita tata ulang sistem pengelolaan sampah,” kata Wahyudi.
“Dan lahirlah pengelolaan sampah yang berbasis digitalisasi dalam rangka merubah perilaku, dan menyelesaikan persoalan di sisi hulu dan mekanisasi untuk menyelesaikan persoalan di hilir. Sehingga ada fasilitas ini untuk merubah perilaku di sisi hulu dan melakukan pengolahan di sisi hilir,” lanjutnya.
Digitalisasi itu dengan menggandeng penyedia aplikasi bernama ‘Pasti Angkut’. Nantinya aplikasi tersebut menyediakan layanan pengangkutan sampah dengan tujuan mengedukasi masyarakat.
Terkait teknis pengolahan sampah, Wahyudi menyebut sampah warga Panggungharjo yang disetor ke tempat pengolahan bernama mitra olah Kupas langsung menjalani pemilahan. Selanjutnya, sampah masuk ke mesin cacah untuk kantong plastik.
“Dan menggunakan conveyor pilah, sampah dipilah berdasarkan jenisnya seperti plastik, kertas, botol hingga kaca dan dijual kembali ke industri daur ulang. Kalau sisanya lalu masuk ke cacah pilah,” ujarnya.
Wahyudi menjelaskan, bahwa tempat pengolahan sampah di Pangguharjo memiliki kapasitas 30 ton. Sedangkan dalam satu hari sampah yang masuk mencapai 6 ton.
“Di cacah pilah itu menghasilkan dua jenis yaitu material organik kemudian diolah menjadi pupuk organik kemudian dijual ke pembudi daya maggot,” imbuh Wahyudi.
Sedangkan untuk plastik bernilai jual rendah diolah menggunakan thermoplastic yakni pelelehan plastik dengan suhu 400 derajat. Setelah menjadi bubur sampah, selanjutnya dicetak hingga menjadi material menyerupai kayu.
“Satu ton residu jadi satu kubik kayu komposit. Pakai untuk kusen biasanya. Kayu komposit tahan air, tahap api dan tidak dimakan rayap. Dijual Rp 20 ribu per meter kalau kusen Rp 40 ribu per meter,” ucapnya.
Dari pengolahan sampah itu, Wahyudi menyebut Kupas mampu meraup puluhan juta rupiah. Namun, uang tersebut kembali lagi untuk memenuhi biaya operasional hingga menggaji pekerja yang jumlahnya puluhan orang.
“Sebulan Rp 80 juta, itu mulai dari sistem retribusi pakai aplikasi digital hingga jual rongsok (bahan daur ulang),” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Kelola Sampah Kita, Salva Yurivan Saragih, menjelaskan saat ini jumlah pelanggan pasti angkut sekitar 1.500 orang. Teknisnya, warga bisa mendownload aplikasi angkut sampah dan menentukan jadwal pengambilan sampah baik harian atau beberapa hari sekali.
“Dalam sehari 6 ton sampah yang masuk, estimasi satu keluarga buang 2,5 kilogram sampah. Kami punya 5 transpoter yang melayani pelanggan dan masyarakat umum juga bisa jadi penarik sampah,” ujarnya.
Terkait tarif, Salva menyebut ada 4 layanan. Pertama layanan pengangkutan sampah setiap hari. Di mana satu hari sekali diangkut dengan minimal berat 50 kg dengan retribusinya Rp 1.000/kg.
Sedangkan layanan pengangkutan sampah dua hari sekali, tanpa minimal pengambilan retribusinya Rp 1.000/kg. Selanjutnya, layanan pengangkutan setiap saat sesuai pesanan dengan retribusi sebesar Rp 150 ribu sekali angkut dengan batas maksimal bak kendaraan roda tiga.
“Ada juga yang dikhususkan bagi penarik sampah mandiri (PSM) yang ingin membuang sampah ditempat kami. Retribusinya Rp 75.000/m3,” imbuhnya.
Artikel ini tayang detik.com, 20 September 2022